Ada beberapa kampung Islam di Bali. Di antaranya kampung Kusamba di Klungkung. Di sini pula tersimpan al-Qur’an kuno yang kembar tiga. Denny Prihantono, seorang aktivis Islam di Denpasar, menuliskan untuk Anda.
Di antara obyek wisata yang cukup dikenal di Bali adalah pantai Kusumba. Ia terletak di Kabupaten Klungkung, Bali bagian Timur. Dari Denpasar butuh waktu tempuh sekitar 1,5 jam sampai ke sana.
Selain dikenal sebagai pantai nelayan, Kusumba juga menjadi pusat pembuatan garam secara tradisional yang terbesar di pulau wisata ini. Setiap hari dapat disaksikan para nelayan sedang melaut mencari ikan, maupun petani garam yang sedang membuat garam di pinggir pantai. Sampan nelayan yang berderet di pinggir pantai di bawah pohon nyiur, dan pondok-pondok pembuatan garam yang berjejer di sepanjang pantai, menimbulkan pemandangan yang benar-benar menarik.
Namun yang membuat saya tertarik ke Kusumba bukan sekedar pesona alamnya. Sudah lama saya mendengar bahwa di daerah tersebut terdapat kampung Muslim bernama Kampung Islam Kusamba.
Kampung ini dikenal sebagai salah satu kampung Muslim di Kabupaten Klungkung. Ia juga dikenal sebagai kampung pertama Islam di kabupaten tersebut. Di tempat ini terdapat makam seorang ulama penyebar Islam di Bali bernama Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Khamid. Habib Ali inilah yang pertama menyebarkan Islam di kerajaan Klungkung. Makamnya berada di Kampung Islam Kusumba.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kampung Islam ini melakukan aktivitas rutin dengan lancar tanpa ada gangguan dan intimidasi dari pihak mana pun. Banyak ibu-ibu dan remaja putri yang memakai jilbab. Sedang laki-lakinya bersongkok. Ini menjadi simbol bahwa perkampungan tersebut adalah perkampungan Muslim. Simbol ini sangat penting di Bali, untuk membedakan mana masyarakat yang beragama Islam dan yang bukan.
Hubungan masyarakat kampung yang mayoritas keturunan Banjar ini dengan kampung lainnya yang beragama Hindu sangat baik. Masyarakat Hindu bersikap toleran terhadap warga Muslim. Mereka memberi kebebasan kepada warga Muslim untuk menjalankan ritual keagamaan yang diyakininya. Terbukti di kampung ini terdapat masjid yang cukup besar, bernama Masjid Al-Huda. Juga sarana pendidikan berupa sekolah Islam.
Yang menarik, ternyata masyarakat Klungkung mengakui bahwa hubungan masyarakat Muslim di kampung tersebut dengan pihak kerajaan sangat baik.
Dalam kaitannya dengan pemerintahan setempat, umat Muslim yang jumlahnya relatif sedikit itu sudah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Dalam pertemuan yang diselenggarakan lembaga pemerintahan misalnya, umat Islam dengan segala aturan yang sudah ditetapkan oleh Islam, juga diperlakukan sebagaimana mestinya.
Walaupun umat Islam di Kampung Kusamba tergolong minoritas, namun bukan berarti selalu dipandang miring oleh umat Hindu. Umat Islam di mata umat Hindu dan umat yang beragama lain dikenal sebagai umat yang jujur dan teguh memegang janji. Anggapan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Misalnya, dalam hal perjanjian untuk tidak saling mengganggu, atau menyakiti antar umat yang berkeyakinan lain, umat Islam adalah kelompok yang belum pernah mengingkari perjanjian-perjanjian seperti ini.
Selain itu, umat Hindu Klungkung juga melihat kaum Muslim sebagai masyarakat yang memiliki aturan lengkap. Misalnya aturan dalam kehidupan sehari-hari, dan lain-lain.
Pada dasarnya umat Hindu memandang positif terhadap Islam. Hal ini karena sudah terbukti bahwa Islam bisa hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya.
Masyarakat Muslim juga menunjukkan respon positif terhadap aktivitas keseharian umat Hindu Bali. Selama hidup berdampingan dalam masyarakat umat Hindu dan Muslim masing-masing memberi kebebasan beraktivitas sesuai dengan keyakinannya.
Buktinya, setiap adanya perayaan nyepi yang bersamaan dengan shalat Jumat, bisa berjalan beriringan. Pada saat Nyepi, meski umat Hindu melaksanakan catur berata panyepian (mati karya, mati lelangunan, mati geni, dan mati lelungan), namun umat Islam juga menunaikan shalat Jumat di masjid. Warga Hindu yang mengetahui umat Islam keluar untuk shalat Jumat pun dapat memakluminya. Kaum Muslimin juga ketika berlangsung shalat Jumat tidak menggunakan pengeras suara ke luar, tapi ke dalam agar tidak mengganggu umat Hindu yang sedang merayakan hari besarnya.
Bahkan, di kalangan umat Islam sendiri ada yang memakai nama Wayan, Ketut, Nengah dan berbahasa Bali halus. Menurut Kepala Desa Kusamba, Hambali, masyarakatnya yang terdiri dari masyarakat beragama Islam dan Hindu hidup rukun sejak berabad-abad yang lalu.
Al-Qur’an Kembar Tiga
Kampung Islam Kusamba dikenal sebagai kampung Islam yang menyimpan banyak sejarah Islam di Bali. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Desa Kusamba, Klungkung memiliki ikatan sejarah yang sangat besar atas perkembangan Islam di Tanah Dewata. Bukti sejarah tersebut ditandai adanya makam Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Khamid. Letaknya tepat di pesisir pantai Kusamba, Klungkung.
Menurut tokoh masyarakat Kampung Islam Kusamba, Mugeni, semasa hidupnya Habib Ali dikenal sangat dekat dengan keluarga Kerajaan Gel-Gel, Klungkung. Bahkan, ia ditunjuk menduduki jabatan sebagai penerjemah atau ahli bahasa yang bertugas mengajarkan bahasa Melayu kepada Raja yang saat itu dipimpin oleh Raja Dewa Agung Jambe.
Karena hal ini Habib Ali mendapat perlakuan yang istimewa dari Raja. Ia diberi seekor kuda jantan putih yang gagah perkasa untuk melakukan tugas kerajaan. Tak hanya itu, ia merupakan satu-satunya rakyat biasa yang bebas keluar-masuk kerajaan.
Sayangnya, menurut Mugeni perlakuan istimewa itu ternyata membawa angin permusuhan di internal kerajaan. Apalagi ia seorang Muslim yang menurut mereka tidak sesuai dengan keyakinan yang dianut waktu itu. Kedekatannya dengan Raja Dewa Agung Jambe akhirnya menuai petaka.
Usai menghadap sang Raja Klungkung, Habib Ali dihadang oleh sekelompok pasukan tak dikenal. Akhirnya, terjadi pertempuran yang sengit dan tidak imbang yang mengakibatkan Habib Ali terbunuh.
Mendengar penterjemahnya tewas, Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe memerintahkan prajurit kerajaan untuk memakamkan jasad Habib Ali di tepi pantai Kusamba, tempat dimana ia wafat.
Selain makam tersebut, bukti sejarah terkait keberadaan masyarakat Islam di Kusamba adalah penemuan benda bersejarah yaitu al-Qur’an tertua. Qur’an ini diakui telah berusia hampir 400 tahun. Al-Qur’an tertua tersebut ditulis tangan oleh ulama besar asal Bugis.
Konon, al-Qur’an yang ditemukan di Kusamba merupakan salah satu al-Qur’an kembar tiga. Ternyata, al-Qur’an tertua di Bali ditulis dan dibuat sebanyak 3 buah dalam kurun waktu yang berbeda oleh ulama yang sama.
Sayangnya, siapa pembuat ketiga al-Qur’an kembar tersebut sampai kini belum diketahui. Namun upaya menemukan jawabannya terus diupayakan.
Kini, salah satu dari ketiga al-Qur’an kembar tertua di Bali itu dalam kondisi rapuh, berdebu dan terkoyak. Ia masih tersimpan baik di Kantor Kepala Desa Kusamba, Klungkung, meski kondisi fisiknya memprihatinkan
Di antara obyek wisata yang cukup dikenal di Bali adalah pantai Kusumba. Ia terletak di Kabupaten Klungkung, Bali bagian Timur. Dari Denpasar butuh waktu tempuh sekitar 1,5 jam sampai ke sana.
Selain dikenal sebagai pantai nelayan, Kusumba juga menjadi pusat pembuatan garam secara tradisional yang terbesar di pulau wisata ini. Setiap hari dapat disaksikan para nelayan sedang melaut mencari ikan, maupun petani garam yang sedang membuat garam di pinggir pantai. Sampan nelayan yang berderet di pinggir pantai di bawah pohon nyiur, dan pondok-pondok pembuatan garam yang berjejer di sepanjang pantai, menimbulkan pemandangan yang benar-benar menarik.
Namun yang membuat saya tertarik ke Kusumba bukan sekedar pesona alamnya. Sudah lama saya mendengar bahwa di daerah tersebut terdapat kampung Muslim bernama Kampung Islam Kusamba.
Kampung ini dikenal sebagai salah satu kampung Muslim di Kabupaten Klungkung. Ia juga dikenal sebagai kampung pertama Islam di kabupaten tersebut. Di tempat ini terdapat makam seorang ulama penyebar Islam di Bali bernama Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Khamid. Habib Ali inilah yang pertama menyebarkan Islam di kerajaan Klungkung. Makamnya berada di Kampung Islam Kusumba.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kampung Islam ini melakukan aktivitas rutin dengan lancar tanpa ada gangguan dan intimidasi dari pihak mana pun. Banyak ibu-ibu dan remaja putri yang memakai jilbab. Sedang laki-lakinya bersongkok. Ini menjadi simbol bahwa perkampungan tersebut adalah perkampungan Muslim. Simbol ini sangat penting di Bali, untuk membedakan mana masyarakat yang beragama Islam dan yang bukan.
Hubungan masyarakat kampung yang mayoritas keturunan Banjar ini dengan kampung lainnya yang beragama Hindu sangat baik. Masyarakat Hindu bersikap toleran terhadap warga Muslim. Mereka memberi kebebasan kepada warga Muslim untuk menjalankan ritual keagamaan yang diyakininya. Terbukti di kampung ini terdapat masjid yang cukup besar, bernama Masjid Al-Huda. Juga sarana pendidikan berupa sekolah Islam.
Yang menarik, ternyata masyarakat Klungkung mengakui bahwa hubungan masyarakat Muslim di kampung tersebut dengan pihak kerajaan sangat baik.
Dalam kaitannya dengan pemerintahan setempat, umat Muslim yang jumlahnya relatif sedikit itu sudah dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Dalam pertemuan yang diselenggarakan lembaga pemerintahan misalnya, umat Islam dengan segala aturan yang sudah ditetapkan oleh Islam, juga diperlakukan sebagaimana mestinya.
Walaupun umat Islam di Kampung Kusamba tergolong minoritas, namun bukan berarti selalu dipandang miring oleh umat Hindu. Umat Islam di mata umat Hindu dan umat yang beragama lain dikenal sebagai umat yang jujur dan teguh memegang janji. Anggapan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Misalnya, dalam hal perjanjian untuk tidak saling mengganggu, atau menyakiti antar umat yang berkeyakinan lain, umat Islam adalah kelompok yang belum pernah mengingkari perjanjian-perjanjian seperti ini.
Selain itu, umat Hindu Klungkung juga melihat kaum Muslim sebagai masyarakat yang memiliki aturan lengkap. Misalnya aturan dalam kehidupan sehari-hari, dan lain-lain.
Pada dasarnya umat Hindu memandang positif terhadap Islam. Hal ini karena sudah terbukti bahwa Islam bisa hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya.
Masyarakat Muslim juga menunjukkan respon positif terhadap aktivitas keseharian umat Hindu Bali. Selama hidup berdampingan dalam masyarakat umat Hindu dan Muslim masing-masing memberi kebebasan beraktivitas sesuai dengan keyakinannya.
Buktinya, setiap adanya perayaan nyepi yang bersamaan dengan shalat Jumat, bisa berjalan beriringan. Pada saat Nyepi, meski umat Hindu melaksanakan catur berata panyepian (mati karya, mati lelangunan, mati geni, dan mati lelungan), namun umat Islam juga menunaikan shalat Jumat di masjid. Warga Hindu yang mengetahui umat Islam keluar untuk shalat Jumat pun dapat memakluminya. Kaum Muslimin juga ketika berlangsung shalat Jumat tidak menggunakan pengeras suara ke luar, tapi ke dalam agar tidak mengganggu umat Hindu yang sedang merayakan hari besarnya.
Bahkan, di kalangan umat Islam sendiri ada yang memakai nama Wayan, Ketut, Nengah dan berbahasa Bali halus. Menurut Kepala Desa Kusamba, Hambali, masyarakatnya yang terdiri dari masyarakat beragama Islam dan Hindu hidup rukun sejak berabad-abad yang lalu.
Al-Qur’an Kembar Tiga
Kampung Islam Kusamba dikenal sebagai kampung Islam yang menyimpan banyak sejarah Islam di Bali. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Desa Kusamba, Klungkung memiliki ikatan sejarah yang sangat besar atas perkembangan Islam di Tanah Dewata. Bukti sejarah tersebut ditandai adanya makam Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Khamid. Letaknya tepat di pesisir pantai Kusamba, Klungkung.
Menurut tokoh masyarakat Kampung Islam Kusamba, Mugeni, semasa hidupnya Habib Ali dikenal sangat dekat dengan keluarga Kerajaan Gel-Gel, Klungkung. Bahkan, ia ditunjuk menduduki jabatan sebagai penerjemah atau ahli bahasa yang bertugas mengajarkan bahasa Melayu kepada Raja yang saat itu dipimpin oleh Raja Dewa Agung Jambe.
Karena hal ini Habib Ali mendapat perlakuan yang istimewa dari Raja. Ia diberi seekor kuda jantan putih yang gagah perkasa untuk melakukan tugas kerajaan. Tak hanya itu, ia merupakan satu-satunya rakyat biasa yang bebas keluar-masuk kerajaan.
Sayangnya, menurut Mugeni perlakuan istimewa itu ternyata membawa angin permusuhan di internal kerajaan. Apalagi ia seorang Muslim yang menurut mereka tidak sesuai dengan keyakinan yang dianut waktu itu. Kedekatannya dengan Raja Dewa Agung Jambe akhirnya menuai petaka.
Usai menghadap sang Raja Klungkung, Habib Ali dihadang oleh sekelompok pasukan tak dikenal. Akhirnya, terjadi pertempuran yang sengit dan tidak imbang yang mengakibatkan Habib Ali terbunuh.
Mendengar penterjemahnya tewas, Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe memerintahkan prajurit kerajaan untuk memakamkan jasad Habib Ali di tepi pantai Kusamba, tempat dimana ia wafat.
Selain makam tersebut, bukti sejarah terkait keberadaan masyarakat Islam di Kusamba adalah penemuan benda bersejarah yaitu al-Qur’an tertua. Qur’an ini diakui telah berusia hampir 400 tahun. Al-Qur’an tertua tersebut ditulis tangan oleh ulama besar asal Bugis.
Konon, al-Qur’an yang ditemukan di Kusamba merupakan salah satu al-Qur’an kembar tiga. Ternyata, al-Qur’an tertua di Bali ditulis dan dibuat sebanyak 3 buah dalam kurun waktu yang berbeda oleh ulama yang sama.
Sayangnya, siapa pembuat ketiga al-Qur’an kembar tersebut sampai kini belum diketahui. Namun upaya menemukan jawabannya terus diupayakan.
Kini, salah satu dari ketiga al-Qur’an kembar tertua di Bali itu dalam kondisi rapuh, berdebu dan terkoyak. Ia masih tersimpan baik di Kantor Kepala Desa Kusamba, Klungkung, meski kondisi fisiknya memprihatinkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komennya yang sopan yaaa...!!!!! :)